Friday, October 4, 2013

SEMINAR KULIAH INFORMAL HUKUM EKONOMI SYARIAH (SESI 1)

Posted by Unknown at 9:08 AM
Kuliah Informal Hukum Ekonomi Syariah atau yang biasa disingkat KIHES ini telah dibuka untuk kedua kalinya pada tahun 2013 di bulan September ini. Sebelum mengawali perkuliahan 8 kali pertemuan yang akan diadakan bulan September – November, KIHES diawali dengan seminar pembukaan. Tidak tanggung tanggung, pembicara yang dihadirkan merupakan Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Bapak Dr. Edi Setiyadi dan Assisten Gubernur Bank Indonesia, Bapak Dr. Mulya E. Siregar. Pada seminar pembukaan ini, seminar dibagi menjadi 2 sesi bertajuk Penerapan Hukum Perbankan berdasarkan Prinsip Syariah dan Prospek Karir di Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.

Pada pukul 09.56 WIB Acara KIHES yang diadakan di Stadium Generate UI ini resmi dimulai dengan sambutan oleh Ketua Project Officer BSO Serambi FHHUI dilanjutkan dengan sambutan oleh Ketua BEM FHUI dan dari alumnus FHUI. Acara KIHES ini dibentuk pertama kali pada tahun 2012. Latar belakang diadakannya KIHES ini adalah untuk menarik minat dan mengedukasi mahasiswa khususnya fakultas hukum untuk menjadi ahli dan praktisi hukum ekonomi syariah di Indonesia. Dimana sumber daya manusianya sangat sedikit sehingga kontribusi dalam penyelesaian masalah sengketa di Indonesiapun kebanyakan berasal dari luar negeri. 

Seminar KIHES ini ditujukan untuk umum dan dikhususkan untuk mahasiswa fakultas hukum. Namun, dari perbincangan yang berlangsung selama 4 jam tersebut, pembahasan dari sisi ekonomi lebih mendominasi. Pada seminar sesi pertama, Bapak Edi Setiyadi menekankan bahwa penerapan hukum berdasarkan prinsip syariah adalah diperlukannya pengenalan prinsip ekonomi syariah atau maqashid syariah tersebut. Beliau mencoba menjelaskan perbedaan – perbedaan antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah, seperti adanya ketidakseimbangan antara sector riil dan non riil. Contohnya, pada surat berharga syariah (sukuk), pada sukuk diperlukan underlinednya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan sector riil dan non riil. Dari aspek legalitasnya, pada ekonomi konvensional semua hukum positif, sedangkan ekonomi syariah legalitasnya berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang independen. Jika dibandingkan dengan Malaysia, fatwa tersebut tidak dikeluarkan oleh lembaga independen. Namun, diatur oleh pemerintahannya. Perbedaan lainnya, terletak pada struktur organisasinya yaitu adanya Dewan Pengawas Syariah dibawah pimpinan Dewan Komisaris. Selain itu, ekonomi syariah hanya membiayai perusahaan – perusahaan yang produknya halal atau berbasis syariah. Tidak membiayai perusahaan rokok, minuman keras, perjudian dan sebagainya. Kemudian, dari prinsip operasionalnya, ekonomi konvensional selalu berdasarkan pada interest rate. Sedangkan, pada ekonomi syariah interest rate sudah pasti tidak dapat digunakan karena nilainya pasti. Padahal tidak ada yang nilainya pasti kecuali kematian dan apabila terdapat kepastian maka akan ada pihak yang dirugikan, mungkin dari pihak bank ataupun deposan dsb.

Perkembangan ekonomi syariah saat ini berkembang pesat. Ekonomi syariah di Saudi Arabia berkembang cepat karena factor resourcesnya. Ekonomi syariah di Korea dan Jepang berkembang karena sukuknya yang mendominasi, Ekonomi syariah di Malaysia berkembang dikarenakan peran pemerintahnya yang besar dan sangat mendukung hal ini. Sedangkan ekonomi syariah kita berkembang karena sudah mulai adanya kesadaran dan permintaan pasar pada bidang ini. Namun, kekurangan dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Uangpun tidak langsung turun ke Indonesia, biasanya melalui Malaysia atau Singapura, karena kita masih belum memiliki payung hukum yang kuat

Sejak dikeluarkannya UU Perbankan Syariah dan UU tentang sukuk, asset perbankan syariah berkisar antara 40 – 50%. Pada Juli 2013, Indonesia sudah memiliki 11 BUS (Bank Usaha Syariah), 24 UUS (Unit Usaha Syariah), dan 160 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Bedanya dengan Malaysia, mereka tidak memiliki UUS. Dikarenakan pada awalnya bank – bank di Malaysia semuanya menawarkan produk syariah atau disebut windows. Sedangkan Indonesia tidak dapat melakukan hal tersebut dikarenakan kita sudah memiliki UUS.

Beliaupun memaparkan hasil survey IMF terhadap Indonesia, mengapa Negara kita sempat tahan pada keadaan krisis? Jawabannya kembali lagi karena adanya keseimbangan antara sector riil dan non riil. Inilah andil Bank Syariah di Indonesia. Selain itu, Bank syariah juga menimbulkan kontradiktif dalam kebijakan dan implementasinya. Diantaranya, harus adanya keterkaitan antara UU Perbankan syariah dan peradilan agama, Sukuk korporasi kita yang masih bernilai 7 -8 triliun saja, Ada 23/24 Universitas Syariah yang harus spin off (berbentuk PT) dan hubungannya dengan kepemilikan Bank Asing, masih ada beberapa hal yang belum terintegrasi seperti kerjasama dengan Mahkamah Agung untuk menyiapkan hakim hakim berbasis syariah namun masih banyak fatwa yang masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah dengan beranggotakan dirjen perundang – undangan. Hal ini bertujuan mengubah fatwa – fatwa menjadi hukum – hukum positif yang lebih kuat di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pada Pukul 11.00, Acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang banyak mengundang antusiasme para peserta.
  • Mengapa masih ada unsur konvensional pada Bank Syariah? Seperti adanya pendapatan non halal pada Bank Syariah?
Jawaban : Pada hal ini, unsur konvensional pada Bank Syariah bukan berarti Bank tersebut masih menggunakan system riba atau bunga. Tetapi, karena hukum positifnya belum mendukung secara keseluruhan. Misalnya, ketika akad jual beli atau murabahah dilaksanakan, maka Bank tersebut harus memiliki gudang luas untuk menyimpan harta yang sudah dimiliki (mis. Mobil) agar dapat dijual kembali kepada nasabah. Belum lagi, bank syariah harus menghadapi paradigma masyarakat yang sudah konvensional karena pemahaman mereka antara margin dan bunga terlihat sama. Padahal berbeda.
Mengenai pendapatan non halal ini bukan didapatkan karena Bank Syariah bermain di pasar uang dan sebagainya. Pendapatan ini didapatkan apabila Bank syariah ini menetapkan denda kepada nasabah karena kesalahan atau pengingkaran janji pembayaran, uang yang dibayarkan nasabah ini masuk kedalam pendapatan non halal yang tidak akan digunakan pada kegiatan operasional bank. Bisa juga, karena suatu bank konvensional mengonversikan banknya menjadi bank syariah.
Selain itu, kita perlu melihat syariah atau konvensional pada bagian neraca. Sebuah bank tidak akan bekerja jika tidak ada sumber dana atau liabilitiesnya. Dewasa ini, ketika suku bunga tinggi, bank bank konvensional akan mendapatkan sumber dana dari para deposan. Untuk dapat bersaing, bank bank syariah pun harus tetap mengisi liabilitiesnya. Namun, bukan dengan menawarkan bunga, tetapi diisi dengan keuntungan Bank bukan keuntungan nasabah. Oleh karena itu, dapat kita lihat ROA Bank Syariah lebih kecil dibandingkan Bank Konvensional.
  • Bagaimana Bank Indonesia dalam menghadapi MEA 2015?
Jawaban : Pada MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), industry bisnis memang dimulai pada tahun 2015. Sedangkan industry keuangan akan dimulai pada tahun 2020. Untuk menghadapi pasar MEA dimana non tariff akan dilaksanakan kita perlu adanya regulator Bank Syariah untuk menentukan bank – bank syariah mana yang dapat beroperasi di Indonesia termasuk dalam memasarkan produknya.
  •  Bagaimana dengan diluncurkannya credit card yang dianggap tidak sesuai syariah?
Jawaban : Ada beberapa bank yang mengeluarkan credit card atau disebut syariah card seperti CIMB, Bank Mega Syariah, Bank BNI Syariah dengan hasanah Cardnya dsb. Untuk produknya, kredit card ini halal karena ada fatwanya. Kami hanya membolehkan produk yang bersifat universal atau sesuai dengan demand di pasar. Bank Indonesiapun sudah memiliki kodifikasi product lengkap dengan fatwanya. Sedangkan untuk produk – produk turunan seperti kartu kredit memang harus dipresentasikan, seperti apa mekanismenya. Contohnya, jika kredit card ini disalahgunakan untuk pembelian barang non halal, maka profit yang didapatkan harus disalurkan ke pendapatan non halal. Ini merupakan salah satu kebijakan DSN.
  • Hanya sekitar 40% masyarakat yang mengenal lembaga keuangan formal. Bagaimana masyarakat dapat mengenal Bank?
Jawaban : Kenyataannya, bank – bank syariah di Indonesia lebih banyak tersebar di jawa – bali. Sedikit sekali sebarannya di daerah Sumatera. Dikarenakan adanya sentaralisasi para ahli di Jakarta. Hal inilah yang harus dicermati. Oleh karena itu, ada kebijakan multi lease and sync guna menyebarkan bank – bank syariah ke zona zona lainnya termasuk menarifkan biaya mendirikan kantor yang lebih mahal untu kdaerah Jakarta dan biaya yang lebih murah di daerah sumatera misalnya. Selain itu, Bank Indonesia berusaha menghubungkan Bank – bank syariah dengan lembaga informal seperti baitul maal Wat Tamlik, dll. Serta melalui Financial Literacy dalam rangka edukasi kepada masyarakat.

Dalam seminar sesi pertama ini dapat disimpulkan bahwa kita perlu memahami esensi Bank syariah itu sendiri. Tidak hanya memahami hukum, ekonominya saja juga landasan syariah itu sendiri. Dikhawatirkan pada MEA 2015 nanti akan banyak produk – produk berkedok halal. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi dari pemerintah, masyarakat dan Bank itu sendiri untuk mengedukasi penerapan prinsip ekonomi syariah kepada masyarakat luas. Jangan sampai kembali kepada paradima suku bunga “Mekanisme suku bunga dalam paradigma adalah tidurpun bisa dapat uang.” – Dr. Edi Setiady (Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia)

0 comments on "SEMINAR KULIAH INFORMAL HUKUM EKONOMI SYARIAH (SESI 1)"

Post a Comment

Poskan komentar

Friday, October 4, 2013

SEMINAR KULIAH INFORMAL HUKUM EKONOMI SYARIAH (SESI 1)

Kuliah Informal Hukum Ekonomi Syariah atau yang biasa disingkat KIHES ini telah dibuka untuk kedua kalinya pada tahun 2013 di bulan September ini. Sebelum mengawali perkuliahan 8 kali pertemuan yang akan diadakan bulan September – November, KIHES diawali dengan seminar pembukaan. Tidak tanggung tanggung, pembicara yang dihadirkan merupakan Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Bapak Dr. Edi Setiyadi dan Assisten Gubernur Bank Indonesia, Bapak Dr. Mulya E. Siregar. Pada seminar pembukaan ini, seminar dibagi menjadi 2 sesi bertajuk Penerapan Hukum Perbankan berdasarkan Prinsip Syariah dan Prospek Karir di Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.

Pada pukul 09.56 WIB Acara KIHES yang diadakan di Stadium Generate UI ini resmi dimulai dengan sambutan oleh Ketua Project Officer BSO Serambi FHHUI dilanjutkan dengan sambutan oleh Ketua BEM FHUI dan dari alumnus FHUI. Acara KIHES ini dibentuk pertama kali pada tahun 2012. Latar belakang diadakannya KIHES ini adalah untuk menarik minat dan mengedukasi mahasiswa khususnya fakultas hukum untuk menjadi ahli dan praktisi hukum ekonomi syariah di Indonesia. Dimana sumber daya manusianya sangat sedikit sehingga kontribusi dalam penyelesaian masalah sengketa di Indonesiapun kebanyakan berasal dari luar negeri. 

Seminar KIHES ini ditujukan untuk umum dan dikhususkan untuk mahasiswa fakultas hukum. Namun, dari perbincangan yang berlangsung selama 4 jam tersebut, pembahasan dari sisi ekonomi lebih mendominasi. Pada seminar sesi pertama, Bapak Edi Setiyadi menekankan bahwa penerapan hukum berdasarkan prinsip syariah adalah diperlukannya pengenalan prinsip ekonomi syariah atau maqashid syariah tersebut. Beliau mencoba menjelaskan perbedaan – perbedaan antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah, seperti adanya ketidakseimbangan antara sector riil dan non riil. Contohnya, pada surat berharga syariah (sukuk), pada sukuk diperlukan underlinednya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan sector riil dan non riil. Dari aspek legalitasnya, pada ekonomi konvensional semua hukum positif, sedangkan ekonomi syariah legalitasnya berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang independen. Jika dibandingkan dengan Malaysia, fatwa tersebut tidak dikeluarkan oleh lembaga independen. Namun, diatur oleh pemerintahannya. Perbedaan lainnya, terletak pada struktur organisasinya yaitu adanya Dewan Pengawas Syariah dibawah pimpinan Dewan Komisaris. Selain itu, ekonomi syariah hanya membiayai perusahaan – perusahaan yang produknya halal atau berbasis syariah. Tidak membiayai perusahaan rokok, minuman keras, perjudian dan sebagainya. Kemudian, dari prinsip operasionalnya, ekonomi konvensional selalu berdasarkan pada interest rate. Sedangkan, pada ekonomi syariah interest rate sudah pasti tidak dapat digunakan karena nilainya pasti. Padahal tidak ada yang nilainya pasti kecuali kematian dan apabila terdapat kepastian maka akan ada pihak yang dirugikan, mungkin dari pihak bank ataupun deposan dsb.

Perkembangan ekonomi syariah saat ini berkembang pesat. Ekonomi syariah di Saudi Arabia berkembang cepat karena factor resourcesnya. Ekonomi syariah di Korea dan Jepang berkembang karena sukuknya yang mendominasi, Ekonomi syariah di Malaysia berkembang dikarenakan peran pemerintahnya yang besar dan sangat mendukung hal ini. Sedangkan ekonomi syariah kita berkembang karena sudah mulai adanya kesadaran dan permintaan pasar pada bidang ini. Namun, kekurangan dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Uangpun tidak langsung turun ke Indonesia, biasanya melalui Malaysia atau Singapura, karena kita masih belum memiliki payung hukum yang kuat

Sejak dikeluarkannya UU Perbankan Syariah dan UU tentang sukuk, asset perbankan syariah berkisar antara 40 – 50%. Pada Juli 2013, Indonesia sudah memiliki 11 BUS (Bank Usaha Syariah), 24 UUS (Unit Usaha Syariah), dan 160 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Bedanya dengan Malaysia, mereka tidak memiliki UUS. Dikarenakan pada awalnya bank – bank di Malaysia semuanya menawarkan produk syariah atau disebut windows. Sedangkan Indonesia tidak dapat melakukan hal tersebut dikarenakan kita sudah memiliki UUS.

Beliaupun memaparkan hasil survey IMF terhadap Indonesia, mengapa Negara kita sempat tahan pada keadaan krisis? Jawabannya kembali lagi karena adanya keseimbangan antara sector riil dan non riil. Inilah andil Bank Syariah di Indonesia. Selain itu, Bank syariah juga menimbulkan kontradiktif dalam kebijakan dan implementasinya. Diantaranya, harus adanya keterkaitan antara UU Perbankan syariah dan peradilan agama, Sukuk korporasi kita yang masih bernilai 7 -8 triliun saja, Ada 23/24 Universitas Syariah yang harus spin off (berbentuk PT) dan hubungannya dengan kepemilikan Bank Asing, masih ada beberapa hal yang belum terintegrasi seperti kerjasama dengan Mahkamah Agung untuk menyiapkan hakim hakim berbasis syariah namun masih banyak fatwa yang masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah dengan beranggotakan dirjen perundang – undangan. Hal ini bertujuan mengubah fatwa – fatwa menjadi hukum – hukum positif yang lebih kuat di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pada Pukul 11.00, Acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang banyak mengundang antusiasme para peserta.
  • Mengapa masih ada unsur konvensional pada Bank Syariah? Seperti adanya pendapatan non halal pada Bank Syariah?
Jawaban : Pada hal ini, unsur konvensional pada Bank Syariah bukan berarti Bank tersebut masih menggunakan system riba atau bunga. Tetapi, karena hukum positifnya belum mendukung secara keseluruhan. Misalnya, ketika akad jual beli atau murabahah dilaksanakan, maka Bank tersebut harus memiliki gudang luas untuk menyimpan harta yang sudah dimiliki (mis. Mobil) agar dapat dijual kembali kepada nasabah. Belum lagi, bank syariah harus menghadapi paradigma masyarakat yang sudah konvensional karena pemahaman mereka antara margin dan bunga terlihat sama. Padahal berbeda.
Mengenai pendapatan non halal ini bukan didapatkan karena Bank Syariah bermain di pasar uang dan sebagainya. Pendapatan ini didapatkan apabila Bank syariah ini menetapkan denda kepada nasabah karena kesalahan atau pengingkaran janji pembayaran, uang yang dibayarkan nasabah ini masuk kedalam pendapatan non halal yang tidak akan digunakan pada kegiatan operasional bank. Bisa juga, karena suatu bank konvensional mengonversikan banknya menjadi bank syariah.
Selain itu, kita perlu melihat syariah atau konvensional pada bagian neraca. Sebuah bank tidak akan bekerja jika tidak ada sumber dana atau liabilitiesnya. Dewasa ini, ketika suku bunga tinggi, bank bank konvensional akan mendapatkan sumber dana dari para deposan. Untuk dapat bersaing, bank bank syariah pun harus tetap mengisi liabilitiesnya. Namun, bukan dengan menawarkan bunga, tetapi diisi dengan keuntungan Bank bukan keuntungan nasabah. Oleh karena itu, dapat kita lihat ROA Bank Syariah lebih kecil dibandingkan Bank Konvensional.
  • Bagaimana Bank Indonesia dalam menghadapi MEA 2015?
Jawaban : Pada MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), industry bisnis memang dimulai pada tahun 2015. Sedangkan industry keuangan akan dimulai pada tahun 2020. Untuk menghadapi pasar MEA dimana non tariff akan dilaksanakan kita perlu adanya regulator Bank Syariah untuk menentukan bank – bank syariah mana yang dapat beroperasi di Indonesia termasuk dalam memasarkan produknya.
  •  Bagaimana dengan diluncurkannya credit card yang dianggap tidak sesuai syariah?
Jawaban : Ada beberapa bank yang mengeluarkan credit card atau disebut syariah card seperti CIMB, Bank Mega Syariah, Bank BNI Syariah dengan hasanah Cardnya dsb. Untuk produknya, kredit card ini halal karena ada fatwanya. Kami hanya membolehkan produk yang bersifat universal atau sesuai dengan demand di pasar. Bank Indonesiapun sudah memiliki kodifikasi product lengkap dengan fatwanya. Sedangkan untuk produk – produk turunan seperti kartu kredit memang harus dipresentasikan, seperti apa mekanismenya. Contohnya, jika kredit card ini disalahgunakan untuk pembelian barang non halal, maka profit yang didapatkan harus disalurkan ke pendapatan non halal. Ini merupakan salah satu kebijakan DSN.
  • Hanya sekitar 40% masyarakat yang mengenal lembaga keuangan formal. Bagaimana masyarakat dapat mengenal Bank?
Jawaban : Kenyataannya, bank – bank syariah di Indonesia lebih banyak tersebar di jawa – bali. Sedikit sekali sebarannya di daerah Sumatera. Dikarenakan adanya sentaralisasi para ahli di Jakarta. Hal inilah yang harus dicermati. Oleh karena itu, ada kebijakan multi lease and sync guna menyebarkan bank – bank syariah ke zona zona lainnya termasuk menarifkan biaya mendirikan kantor yang lebih mahal untu kdaerah Jakarta dan biaya yang lebih murah di daerah sumatera misalnya. Selain itu, Bank Indonesia berusaha menghubungkan Bank – bank syariah dengan lembaga informal seperti baitul maal Wat Tamlik, dll. Serta melalui Financial Literacy dalam rangka edukasi kepada masyarakat.

Dalam seminar sesi pertama ini dapat disimpulkan bahwa kita perlu memahami esensi Bank syariah itu sendiri. Tidak hanya memahami hukum, ekonominya saja juga landasan syariah itu sendiri. Dikhawatirkan pada MEA 2015 nanti akan banyak produk – produk berkedok halal. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi dari pemerintah, masyarakat dan Bank itu sendiri untuk mengedukasi penerapan prinsip ekonomi syariah kepada masyarakat luas. Jangan sampai kembali kepada paradima suku bunga “Mekanisme suku bunga dalam paradigma adalah tidurpun bisa dapat uang.” – Dr. Edi Setiady (Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia)

No comments:

Post a Comment

Poskan komentar

 

DreamCatcher Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez