Pada hari Jum’at,
13 Desember 2013, UIN Hidayatullah Jakarta mengadakan sebuah seminar bertajuk
“Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju Indonesia yang Maju,
Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT.” Seminar ini disampaikan oleh
dua orang pembicara, yaitu: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. dan Witjaksono.
Pembicara pertama merupakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
serta pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI pada tahun 2001
sampai 2004. Sedangkan pembicara kedua adalah seorang entrepreneur muda yang
sudah memiliki beberapa perusahaan dan kini memiliki sebuah program untuk
melahirkan entrepreneur muda selanjutnya. Sebelumnya mari kita lihat resume
materi yang disampaikan oleh Bapak Rokhmin Dahuri, MS.
Masalah bangsa kita saat ini
Bapak Rokhim
menyampaikan bahwa Indonesia tercinta ini terlihat begitu memilukan dengan
berbagai masalah seperti pengangguran, kemiskinan, kesenjangan antara orang
kaya dan orang miskin, disparitas wilayah dan lain-lain. Padahal pertumbuhan
ekonomi kita menempati posisi tertinggi kedua pada pertumbuhan ekonomi dunia
setelah China. Belum lagi, pada tahun 2011, Indonesia masuk ke dalam list
investment grade. Tidak hanya itu, PDB kita pun menempati urutan ke-16 di
dunia! Fakta-fakta yang membanggakan tersebut sayangnya tidak seperti
kelihatannya. Karena prestasi pertumbuhan ekonomi kita sebesar 6,3% tidak sejalan dengan makro ekonominya. Ada GAP
yang tinggi dan besar antara sector riil dan sector moneter. Beliau
menyampaikan bahwa sebabnya adalah sistem yang kita anut merupakan sistem
kapitalisme. Sudah jelas kita ketahui bahwa sistem tersebut memiliki cacat
bawaan. Cacat sejak awal dan kita berkiblat pada mereka. Pada bangsa-bangsa
yang sekarang ini tengah kolaps, sebut saja eropa, amerika, dan sebagainya.
Untuk itu, kita harus menjadi bangsa yang dapat bertahan. Selain kembali pada
sistem ekonomi pancasila ataupun ekonomi syariah, kita juga harus menjadi
bangsa yang berinovasi kuat.
Kita harusnya
menyadari bahwa bangsa ini memiliki potensi pembangunan yang jauh lebih besar
dari bangsa lainnya. Bisa kita lihat, negara-negara seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan memiliki potensi yang jauh lebih
kecil namun sudah lebih maju, makmur dan mandiri ketimbang Indonesia. Namun,
potensi-potensi Indonesia tersebut seakan tenggelam bersama masalah-masalah
ekonomi Indonesia saat ini. Perlu kita ketahui, koefisien gini Indonesia saat
ini berada pada nilai indeks 0,42. Dimana patokan standar untuk Indonesia
adalah 0,35. Semakin nilai koefisien tersebut mendekati 1, berarti kesenjangan
yang terjadi cukup signifikan. Beliau memperlihatkan sebuah fakta dalam majalah
FOX bahwa 10 orang kaya didunia sama jumlahnya dengan 60 juta orang miskin.
Jika kita lihat di Indonesia, kemiskinan kita berjumlah sekitar 50% dengan
standar world bank $2 per hari.
Bagaimana tidak? Jika acuan kita merupakan dollar yang saat ini tengah menembus
angka Rp 12.100, maka nilai $2 per hari akan meningkatkan persentase jumlah
orang miskin di Indonesia. Tidak hanya itu, disparitas wilayah pun terjadi
karena didominasi wilayah Jawa sebesar 58%, Sumatera 24%, dan 18% tersebar di
wilayah lainnya. Begitu pula dengan kesenjangan ekonomi karena ketidakmerataan
investasi di setiap wilayah, daerah investasi hanya didominasi oleh Pulau Jawa
71% dan Riau 29%. Tidak hanya itu, pada tahun 2012, 36% anak balita menderita
gizi kronis dan Indonesia menempati posisi ketujuh penderita diabetes. Fakta
lainnya, kekayaan migas kita pun tidak memberikan manfaat yang besar seperti
Pertamina, kita hanya memiliki 16% saja.
Tantangan Bangsa Indonesia
Inilah
permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia, penyebab ketertinggalan
Indonesia salah satunya adalah karena pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
namun kurang berkualitas dan tidak inklusif. Pertumbuhan ekonomi pada dekade
terakhir sebagian besar dihasilkan oleh sektor moneter dan sektor riil non-tradable yang hanya sedikit sekali
menyerap tenaga kerja. Pembangunan sektor riil non-tradable ini adalah pembangunan berupa konstruksi, angkutan, pasar
swalayan/malls, dan hiburan yang hanya dibangun di kota – kota besar dan Pulau
Jawa serta dinikmati masyarakat menengah ke atas. Sedangkan sektor ekonomi riil
trradble seperti kelautan, perikanan, pertanian, kehutanan ESDM, pariwisata dan
industry manufakturing justru tumbuh sangat lambat. Penyerapan tenaga kerja pun
jauh lebih besar sektor ekonomi tradable yaitu 400.000 per 1% dari sektor
ekonomi riil non-tradable yang hanya dapat menyerap 100.000 per 1% pertumbuhan
ekonomi (Bappenas,2008).
Tantangan serius
lainnya adalah deficit neraca perdagangan dimana nilai impor kita lebih besar
dari nilai ekspor pada awal tahun ini. Sejak diberlakukannya reziim perdagangan
bebas antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN surplus kita mulai menyusut
dan akhirnya negative pada akhir tahun 2012. Tanpa dibarengi dengan peningkatan
daya saing ekonomi yang tinggi, perbaikan infrastruktur, moral, kemudahan
proses perizinan akan menyebabkan kita memiliki daya saing yang negative dan
kalah saing.
Selain itu, kita
perlu mengurangi ketergantungan kita terhadap sejumlah produk impor dan produk
bernilai tambah tinggi. Perlu kita sadari bahwa ketergantungan tersebut tidak
hanya menghamburkan devisa namun juga membuat banyak produsen dalam negeri
memangkas volume produksinya hingga mem-PHK karyawan. Jika sudah begini, maka
pengangguran dan kemiskinan tidak dapat terhindarkan. Akibatnya status gizi
anak-anak yang akan menjadi generasi
selanjutnya pun memburuk. Artinya, kita akan meninggalkan generasi-generasi
yang lemah fisik dan kurang cerdas. Kondisi semacam ini akan melemahkan bangsa dalam menguasai dan
menerapkan IPTEK yang kemudian berdampak pada rendahnya produktivitas
Indonesia. Apabila produktivitas ini dibiarkan rendah dan kita masih saja dalam
negara berpendapatan rendah, kita tidak akan bisa menuju menjadi bangsa yang
maju dan makmur. Prasyarat untuk menuju bangsa yang maju dan makmur adalah kita
dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7-9 persen per tahun selama periode
2013-2025.
Tantangan
lainnya adalah rentannya kedaulatan (ketahanan dan kemandirian) pangan dan
energy nasional. Hal tersebut dapat kita lihat bahwa Indonesia menjadi salah
satu bangsa pengimpor bahan-bahan pangan terbesar di dunia. Padahal kita
memiliki potensi yang besar dan beragam.
Tidak hanya itu,
kurangnya kualitas dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh dominasi
kepemilikan asing pada sektor-sektor ekonomi strategis. Hal ini akibat dari
kebijakan pemerintah dan BI yang membolehkan kepemilikan asing sampai 99 persen
serta keleluasaan bank dengan saham m ayoritas asing untuk dpaat beroperasi
hingga ke daerah-daerah pedesaan.
Sepertinya
memang benar high risk high return.
Inilah yang menurut saya merupakan tantangan bangsa ini, sumber daya alam berlimpah yang jika dikelola dengan baik
tentu akan menghasilkan hasil yang tentunya lebih banyak. Namun, memang
memiliki resiko yang tinggi, bisa saja sumber daya alam kita dikelola negara
lain atau justru perlahan kita akan melihat resiko sumber daya alam yang tidak
akan terkelola dengan baik.