Sunday, December 29, 2013

Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju Indonesia yang Maju, Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT (SESI I)

Posted by Unknown at 11:28 PM
Pada hari Jum’at, 13 Desember 2013, UIN Hidayatullah Jakarta mengadakan sebuah seminar bertajuk “Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju Indonesia yang Maju, Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT.” Seminar ini disampaikan oleh dua orang pembicara, yaitu: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. dan Witjaksono. Pembicara pertama merupakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB serta pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI pada tahun 2001 sampai 2004. Sedangkan pembicara kedua adalah seorang entrepreneur muda yang sudah memiliki beberapa perusahaan dan kini memiliki sebuah program untuk melahirkan entrepreneur muda selanjutnya. Sebelumnya mari kita lihat resume materi yang disampaikan oleh Bapak Rokhmin Dahuri, MS.
Masalah bangsa kita saat ini
Bapak Rokhim menyampaikan bahwa Indonesia tercinta ini terlihat begitu memilukan dengan berbagai masalah seperti pengangguran, kemiskinan, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, disparitas wilayah dan lain-lain. Padahal pertumbuhan ekonomi kita menempati posisi tertinggi kedua pada pertumbuhan ekonomi dunia setelah China. Belum lagi, pada tahun 2011, Indonesia masuk ke dalam list investment grade. Tidak hanya itu, PDB kita pun menempati urutan ke-16 di dunia! Fakta-fakta yang membanggakan tersebut sayangnya tidak seperti kelihatannya. Karena prestasi pertumbuhan ekonomi kita sebesar 6,3%  tidak sejalan dengan makro ekonominya. Ada GAP yang tinggi dan besar antara sector riil dan sector moneter. Beliau menyampaikan bahwa sebabnya adalah sistem yang kita anut merupakan sistem kapitalisme. Sudah jelas kita ketahui bahwa sistem tersebut memiliki cacat bawaan. Cacat sejak awal dan kita berkiblat pada mereka. Pada bangsa-bangsa yang sekarang ini tengah kolaps, sebut saja eropa, amerika, dan sebagainya. Untuk itu, kita harus menjadi bangsa yang dapat bertahan. Selain kembali pada sistem ekonomi pancasila ataupun ekonomi syariah, kita juga harus menjadi bangsa yang berinovasi kuat.
Kita harusnya menyadari bahwa bangsa ini memiliki potensi pembangunan yang jauh lebih besar dari bangsa lainnya. Bisa kita lihat, negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan memiliki potensi yang jauh lebih kecil namun sudah lebih maju, makmur dan mandiri ketimbang Indonesia. Namun, potensi-potensi Indonesia tersebut seakan tenggelam bersama masalah-masalah ekonomi Indonesia saat ini. Perlu kita ketahui, koefisien gini Indonesia saat ini berada pada nilai indeks 0,42. Dimana patokan standar untuk Indonesia adalah 0,35. Semakin nilai koefisien tersebut mendekati 1, berarti kesenjangan yang terjadi cukup signifikan. Beliau memperlihatkan sebuah fakta dalam majalah FOX bahwa 10 orang kaya didunia sama jumlahnya dengan 60 juta orang miskin. Jika kita lihat di Indonesia, kemiskinan kita berjumlah sekitar 50% dengan standar world bank $2 per hari. Bagaimana tidak? Jika acuan kita merupakan dollar yang saat ini tengah menembus angka Rp 12.100, maka nilai $2 per hari akan meningkatkan persentase jumlah orang miskin di Indonesia. Tidak hanya itu, disparitas wilayah pun terjadi karena didominasi wilayah Jawa sebesar 58%, Sumatera 24%, dan 18% tersebar di wilayah lainnya. Begitu pula dengan kesenjangan ekonomi karena ketidakmerataan investasi di setiap wilayah, daerah investasi hanya didominasi oleh Pulau Jawa 71% dan Riau 29%. Tidak hanya itu, pada tahun 2012, 36% anak balita menderita gizi kronis dan Indonesia menempati posisi ketujuh penderita diabetes. Fakta lainnya, kekayaan migas kita pun tidak memberikan manfaat yang besar seperti Pertamina, kita hanya memiliki 16% saja.
Tantangan Bangsa Indonesia
Inilah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia, penyebab ketertinggalan Indonesia salah satunya adalah karena pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi namun kurang berkualitas dan tidak inklusif. Pertumbuhan ekonomi pada dekade terakhir sebagian besar dihasilkan oleh sektor moneter dan sektor riil non-tradable yang hanya sedikit sekali menyerap tenaga kerja. Pembangunan sektor riil non-tradable ini adalah pembangunan berupa konstruksi, angkutan, pasar swalayan/malls, dan hiburan yang hanya dibangun di kota – kota besar dan Pulau Jawa serta dinikmati masyarakat menengah ke atas. Sedangkan sektor ekonomi riil trradble seperti kelautan, perikanan, pertanian, kehutanan ESDM, pariwisata dan industry manufakturing justru tumbuh sangat lambat. Penyerapan tenaga kerja pun jauh lebih besar sektor ekonomi tradable yaitu 400.000 per 1% dari sektor ekonomi riil non-tradable yang hanya dapat menyerap 100.000 per 1% pertumbuhan ekonomi (Bappenas,2008).
Tantangan serius lainnya adalah deficit neraca perdagangan dimana nilai impor kita lebih besar dari nilai ekspor pada awal tahun ini. Sejak diberlakukannya reziim perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN surplus kita mulai menyusut dan akhirnya negative pada akhir tahun 2012. Tanpa dibarengi dengan peningkatan daya saing ekonomi yang tinggi, perbaikan infrastruktur, moral, kemudahan proses perizinan akan menyebabkan kita memiliki daya saing yang negative dan kalah saing.
Selain itu, kita perlu mengurangi ketergantungan kita terhadap sejumlah produk impor dan produk bernilai tambah tinggi. Perlu kita sadari bahwa ketergantungan tersebut tidak hanya menghamburkan devisa namun juga membuat banyak produsen dalam negeri memangkas volume produksinya hingga mem-PHK karyawan. Jika sudah begini, maka pengangguran dan kemiskinan tidak dapat terhindarkan. Akibatnya status gizi anak-anak yang akan  menjadi generasi selanjutnya pun memburuk. Artinya, kita akan meninggalkan generasi-generasi yang lemah fisik dan kurang cerdas. Kondisi semacam ini  akan melemahkan bangsa dalam menguasai dan menerapkan IPTEK yang kemudian berdampak pada rendahnya produktivitas Indonesia. Apabila produktivitas ini dibiarkan rendah dan kita masih saja dalam negara berpendapatan rendah, kita tidak akan bisa menuju menjadi bangsa yang maju dan makmur. Prasyarat untuk menuju bangsa yang maju dan makmur adalah kita dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7-9 persen per tahun selama periode 2013-2025.
Tantangan lainnya adalah rentannya kedaulatan (ketahanan dan kemandirian) pangan dan energy nasional. Hal tersebut dapat kita lihat bahwa Indonesia menjadi salah satu bangsa pengimpor bahan-bahan pangan terbesar di dunia. Padahal kita memiliki potensi yang besar dan beragam.
Tidak hanya itu, kurangnya kualitas dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh dominasi kepemilikan asing pada sektor-sektor ekonomi strategis. Hal ini akibat dari kebijakan pemerintah dan BI yang membolehkan kepemilikan asing sampai 99 persen serta keleluasaan bank dengan saham m ayoritas asing untuk dpaat beroperasi hingga ke daerah-daerah pedesaan.
Sepertinya memang benar high risk high return. Inilah yang menurut saya merupakan tantangan bangsa ini, sumber daya  alam berlimpah yang jika dikelola dengan baik tentu akan menghasilkan hasil yang tentunya lebih banyak. Namun, memang memiliki resiko yang tinggi, bisa saja sumber daya alam kita dikelola negara lain atau justru perlahan kita akan melihat resiko sumber daya alam yang tidak akan terkelola dengan baik.

0 comments on " Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju Indonesia yang Maju, Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT (SESI I)"

Post a Comment

Poskan komentar

Sunday, December 29, 2013

Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju Indonesia yang Maju, Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT (SESI I)

Pada hari Jum’at, 13 Desember 2013, UIN Hidayatullah Jakarta mengadakan sebuah seminar bertajuk “Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju Indonesia yang Maju, Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT.” Seminar ini disampaikan oleh dua orang pembicara, yaitu: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. dan Witjaksono. Pembicara pertama merupakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB serta pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI pada tahun 2001 sampai 2004. Sedangkan pembicara kedua adalah seorang entrepreneur muda yang sudah memiliki beberapa perusahaan dan kini memiliki sebuah program untuk melahirkan entrepreneur muda selanjutnya. Sebelumnya mari kita lihat resume materi yang disampaikan oleh Bapak Rokhmin Dahuri, MS.
Masalah bangsa kita saat ini
Bapak Rokhim menyampaikan bahwa Indonesia tercinta ini terlihat begitu memilukan dengan berbagai masalah seperti pengangguran, kemiskinan, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, disparitas wilayah dan lain-lain. Padahal pertumbuhan ekonomi kita menempati posisi tertinggi kedua pada pertumbuhan ekonomi dunia setelah China. Belum lagi, pada tahun 2011, Indonesia masuk ke dalam list investment grade. Tidak hanya itu, PDB kita pun menempati urutan ke-16 di dunia! Fakta-fakta yang membanggakan tersebut sayangnya tidak seperti kelihatannya. Karena prestasi pertumbuhan ekonomi kita sebesar 6,3%  tidak sejalan dengan makro ekonominya. Ada GAP yang tinggi dan besar antara sector riil dan sector moneter. Beliau menyampaikan bahwa sebabnya adalah sistem yang kita anut merupakan sistem kapitalisme. Sudah jelas kita ketahui bahwa sistem tersebut memiliki cacat bawaan. Cacat sejak awal dan kita berkiblat pada mereka. Pada bangsa-bangsa yang sekarang ini tengah kolaps, sebut saja eropa, amerika, dan sebagainya. Untuk itu, kita harus menjadi bangsa yang dapat bertahan. Selain kembali pada sistem ekonomi pancasila ataupun ekonomi syariah, kita juga harus menjadi bangsa yang berinovasi kuat.
Kita harusnya menyadari bahwa bangsa ini memiliki potensi pembangunan yang jauh lebih besar dari bangsa lainnya. Bisa kita lihat, negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan memiliki potensi yang jauh lebih kecil namun sudah lebih maju, makmur dan mandiri ketimbang Indonesia. Namun, potensi-potensi Indonesia tersebut seakan tenggelam bersama masalah-masalah ekonomi Indonesia saat ini. Perlu kita ketahui, koefisien gini Indonesia saat ini berada pada nilai indeks 0,42. Dimana patokan standar untuk Indonesia adalah 0,35. Semakin nilai koefisien tersebut mendekati 1, berarti kesenjangan yang terjadi cukup signifikan. Beliau memperlihatkan sebuah fakta dalam majalah FOX bahwa 10 orang kaya didunia sama jumlahnya dengan 60 juta orang miskin. Jika kita lihat di Indonesia, kemiskinan kita berjumlah sekitar 50% dengan standar world bank $2 per hari. Bagaimana tidak? Jika acuan kita merupakan dollar yang saat ini tengah menembus angka Rp 12.100, maka nilai $2 per hari akan meningkatkan persentase jumlah orang miskin di Indonesia. Tidak hanya itu, disparitas wilayah pun terjadi karena didominasi wilayah Jawa sebesar 58%, Sumatera 24%, dan 18% tersebar di wilayah lainnya. Begitu pula dengan kesenjangan ekonomi karena ketidakmerataan investasi di setiap wilayah, daerah investasi hanya didominasi oleh Pulau Jawa 71% dan Riau 29%. Tidak hanya itu, pada tahun 2012, 36% anak balita menderita gizi kronis dan Indonesia menempati posisi ketujuh penderita diabetes. Fakta lainnya, kekayaan migas kita pun tidak memberikan manfaat yang besar seperti Pertamina, kita hanya memiliki 16% saja.
Tantangan Bangsa Indonesia
Inilah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia, penyebab ketertinggalan Indonesia salah satunya adalah karena pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi namun kurang berkualitas dan tidak inklusif. Pertumbuhan ekonomi pada dekade terakhir sebagian besar dihasilkan oleh sektor moneter dan sektor riil non-tradable yang hanya sedikit sekali menyerap tenaga kerja. Pembangunan sektor riil non-tradable ini adalah pembangunan berupa konstruksi, angkutan, pasar swalayan/malls, dan hiburan yang hanya dibangun di kota – kota besar dan Pulau Jawa serta dinikmati masyarakat menengah ke atas. Sedangkan sektor ekonomi riil trradble seperti kelautan, perikanan, pertanian, kehutanan ESDM, pariwisata dan industry manufakturing justru tumbuh sangat lambat. Penyerapan tenaga kerja pun jauh lebih besar sektor ekonomi tradable yaitu 400.000 per 1% dari sektor ekonomi riil non-tradable yang hanya dapat menyerap 100.000 per 1% pertumbuhan ekonomi (Bappenas,2008).
Tantangan serius lainnya adalah deficit neraca perdagangan dimana nilai impor kita lebih besar dari nilai ekspor pada awal tahun ini. Sejak diberlakukannya reziim perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN surplus kita mulai menyusut dan akhirnya negative pada akhir tahun 2012. Tanpa dibarengi dengan peningkatan daya saing ekonomi yang tinggi, perbaikan infrastruktur, moral, kemudahan proses perizinan akan menyebabkan kita memiliki daya saing yang negative dan kalah saing.
Selain itu, kita perlu mengurangi ketergantungan kita terhadap sejumlah produk impor dan produk bernilai tambah tinggi. Perlu kita sadari bahwa ketergantungan tersebut tidak hanya menghamburkan devisa namun juga membuat banyak produsen dalam negeri memangkas volume produksinya hingga mem-PHK karyawan. Jika sudah begini, maka pengangguran dan kemiskinan tidak dapat terhindarkan. Akibatnya status gizi anak-anak yang akan  menjadi generasi selanjutnya pun memburuk. Artinya, kita akan meninggalkan generasi-generasi yang lemah fisik dan kurang cerdas. Kondisi semacam ini  akan melemahkan bangsa dalam menguasai dan menerapkan IPTEK yang kemudian berdampak pada rendahnya produktivitas Indonesia. Apabila produktivitas ini dibiarkan rendah dan kita masih saja dalam negara berpendapatan rendah, kita tidak akan bisa menuju menjadi bangsa yang maju dan makmur. Prasyarat untuk menuju bangsa yang maju dan makmur adalah kita dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7-9 persen per tahun selama periode 2013-2025.
Tantangan lainnya adalah rentannya kedaulatan (ketahanan dan kemandirian) pangan dan energy nasional. Hal tersebut dapat kita lihat bahwa Indonesia menjadi salah satu bangsa pengimpor bahan-bahan pangan terbesar di dunia. Padahal kita memiliki potensi yang besar dan beragam.
Tidak hanya itu, kurangnya kualitas dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh dominasi kepemilikan asing pada sektor-sektor ekonomi strategis. Hal ini akibat dari kebijakan pemerintah dan BI yang membolehkan kepemilikan asing sampai 99 persen serta keleluasaan bank dengan saham m ayoritas asing untuk dpaat beroperasi hingga ke daerah-daerah pedesaan.
Sepertinya memang benar high risk high return. Inilah yang menurut saya merupakan tantangan bangsa ini, sumber daya  alam berlimpah yang jika dikelola dengan baik tentu akan menghasilkan hasil yang tentunya lebih banyak. Namun, memang memiliki resiko yang tinggi, bisa saja sumber daya alam kita dikelola negara lain atau justru perlahan kita akan melihat resiko sumber daya alam yang tidak akan terkelola dengan baik.

No comments:

Post a Comment

Poskan komentar

 

DreamCatcher Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez